Rabu, 22 Februari 2017

PUASA


Secara bahasa, puasa atau shaum dalam bahasa Arabnya berarti menahan diri dari segala sesuatu. Jadi, puasa itu ialah menahan diri dari segala perkara seperti makanan, minuman, berbicara, menahan nafsu dan syahwat, dls. Sedangkan secara istilah, puasa yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa yang dimulai sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Dalam Al-qur’an surat Al-Baqoroh ayat 187 menerangkan tentang kewajiban berpuasa.

Syarat Wajib Puasa
(1) Islam,
(2) Berakal,
(3) Sudah baligh
(4) Mengetahui akan wajibnya puasa.

Syarat Wajibnya Penunaian Puasa
Artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
(3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.

Syarat sahnya puasa ada dua
(1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
(2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”
Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”
Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”

Wajib Berniat Sebelum Fajar
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,
“Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.” Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya. Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.

Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.

Ada beberapa macam puasa, antara lain:
Puasa wajib yang terdiri dari: puasa ramadhan, nadzar dan kafarat.
Puasa sunnah yang terdiri dari: puasa senin kamis, muharam, syawal, arofah dls.
Puasa makruh yang terdiri dari puasa yang dikhususkan pada hari jumat dan sabtu.
Puasa haram yang terdiri dari puasa hari raya idul fitri dan hari raya idul adha serta puasa sepanjang tahu.

Puasa Wajib

Puasa ramadhan.
Yakni puasa sebulan penuh dibulan ramdhan yang hukumnya wajib bagi setiap umat muslim yang sudah baligh. Kewajiban melaksanakan puasa dibulan ramadhan terdapat dalam Qur’an surat Al-baqoroh ayat 183.

Puasa nadzar.
Merupakan puasa yang disebabkan karena sebuah janji, nadzar secara bahasa adalah janji. Sehingga puasa yang dinadzarkan hukumnya wajib.

Puasa kafarat atau kifarat.
Yakni puasa yang dilakukan untuk menggantikan dam atau denda atas pelanggaran yang hukumnya wajib. Puasa ini ditunaikan dikarenakan perbuatan dosa, sehingga bertujuan untuk menghapus dosa yang telah dilakukan. Adapun macam-macam puasa kafarat antara lain : kafarat karena melanggar sumpah atas nama Allah, kafarat dalam melakukan ibadah haji, kafarat karena berjima’ atau berhubungan badan suami istri di bulan ramadhan, membunuh tanpa sengaja, membunuh binatang saat sedang ihram.

Puasa Sunnah

Puasa sunnah senin kamis.
Rasulullah telah memerintah umatnya untuk senantiasa berpuasa di hari senin dan kamis, karena pada hari senin merupakan hari kelahiran beliau dan kamis adalah hari pertama kali Al-Qur’an diturunkan. Dan pada hari senin kamis juga, amal perbuatan manusia diperiksa, sehingga beliau menginginkan ketka diperiksa, beliau dalam keadaan berpuasa.

Puasa sunnah syawal.
Puasa enam hari dibulan syawal atau setelah bulan ramadhan. Bisa dilakukan secara berurutan dimulai dari hari kedua syawal atau dilakukan secara tidak berurutan.  Rasulullah bersabda yang artinya: “Keutamaan puasa ramadhan yang diiringi dengan puasa syawal ialah seperti orang yang berpuasa selama setahun (HR. Muslim).

Puasa muharrom.
Yakni puasa pada bulan Muharram dan yang paling utama ialah pada hari ke 10 bulan muharram yakni assyuro’. Puasa ini memiliki keutamaan dan yang paling utama setelah puasa ramadhan.

Puasa arofah.
Yakni puasa pada hari ke-9 Dzuhijjah, dimana keistimewaannya ialah akan dihapuskan dosa-dosa pada tahun lalu & dosa-dosa di tahun yang akan datang (HR. Muslim). Dosa-dosa yang dimaksud ialah khusus untuk dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa besar hanya bisa diampuni dengan jalan bertaubat atau taubatan nasuha.

Puasa di bulan Sya’ban.
Pada bulan sya’ban ini, segala amal akan diangkat kepada Rabb sehingga diperintahkan untuk memperbanyak puasa.

Puasa Daud.
Yakni puasa yang dilakukan nabi daud dan caranya yaitu sehari puasa dan sehari tidak atau dengan cara selalng seling dan puasa ini sangat disukai Allah SWT.
Puasa Makruh

Jika melakukan puasa pada hari jumat atau sabtu, dengan niat dikhususkan atau disengaja maka hukumnya makruh kecuali bermaksud atau berniat mengqodho puasa ramadhan, puasa karena nadzar ataupun kifarat.

Puasa Haram

Hari Raya Idul Fitri.
Yang jatuh pada tanggal 1 Syawal yang ditetapkan sebagai hari raya umat muslim. Pada hari ini, puasa diharamkan karena hari ini merupakan hari kemenangan karena telah berpuasa sebulan penuh dibulan ramadhan.

Hari Raya Idul Adha.
Pada tanggal 10 Dzulhijjah merupakan hari raya qurban dan hari raya kedua bagi umat muslim. Berpuasa pada hari ini diharamkan.

Hari Tasyrik.
Jatuh pada tanggal 11, 12 & 13 Dzulhijjah.

Puasa setiap hari atau sepanjang tahun dan selamanya.

Wallahu’alam bisshawab
"Dan Allah lebih Mengetahui yang sebenar-benarnya"
Mudah-mudahan Bermanfaat
Mohon Maaf atas segala Kekurangan
Wassalaamu'alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh

(edisalam)

sumber :
http://www.seputarpengetahuan.com/2015/08/pengertian-puasa-dan-macam-macam-puasa-terlengkap.html
 

sumber :
https://muslim.or.id/4097-syarat-dan-rukun-puasa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar