Rabu, 22 Februari 2017

SYAHADAT



Syahadat berasal dari kata: syahida—yasyhadu—syahadatan. Secara bahasa, kata ini memiliki makna:
Menyampaikan berita yang pasti.
Menampakkan sesuatu yang tidak diketahui orang lain.
Menjelaskan. (Mukhtarush Shihah,Misbahul Munir,Al-Mu’jamul Wasith, kata: sya–hi–da)

Secara istilah, “syahadat” artinya ‘menyampaikan kebenaran di depan saksi’. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, kata: syahadah). Berdasarkan pengertian ini, kata syahadat memiliki makna yang lebih umum; mencakup semua bentuk persaksian, termasuk persaksian di pengadilan, dan tidak hanya terkait dengan ritual ketika masuk Islam.

Syahadatain dan maknanya
Kata “syahadatain” artinya ‘dua kalimat syahadat’. Dua kalimat ini merupakan gerbang bagi orang nonmuslim ketika masuk Islam. Lafal syahadatain adalah:
“Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah,dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”Makna syahadat “la ilaha illallah”
Ketika seseorang mengucapkan syahadat ini, berarti dia mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dan dijadikan tujuan ibadah kecuali Allah. Adapun semua sesembahan selain Allah adalah sesembahan yang batil dan tidak boleh dijadikan tujuan beribadah.Makna syahadat “Muhammad adalah utusan Allah”
Pengakuan untuk menaati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua syariat yang beliau bawa, baik bentuknya berita, perintah, maupun larangan. Ketika seseorang mengucapkan syahadat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia siap untuk melaksanakan konsekuensi berikut:
– Menaati semua perintahnya.
– Menjauhi semua larangannya.
– Membenarkan semua berita darinya.
– Tidak beribadah kecuali yang sesuai dengan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Fungsi syahadat dalam Islam
Syahadat merupakan gerbang pertama yang memasukkan seseorang ke dalam Islam, karena dalam syahadat terkandung pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah dalam rububiyah dan uluhiyah-Nya. Inilah inti dakwah para rasul. Allah berfirman,
“Tidaklah Kami utus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad) kecuali Kami
wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Aku. Karena itu, sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’:25)

Imam An-Nawawi mengatakan, “Ahlus sunnah sepakat bahwa seseorang tidak dianggap mukmin kecuali orang yang hatinya meyakini kebenaran Islam dengan seyakin-yakinnya, bersih dari segala keraguan, dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika salah satunya tidak ada maka dia tidak termasuk mukmin, kecuali jika dia tidak mampu mengucapkan syahadatain karena cacat lisan atau dalam kondisi di ambang sekarat. Dalam keadaan demikian, tidak memungkinkan baginya untuk mengucapkan syahadat, sehingga dia tetap dikatakan sebagai seorang mukmin.” (Syarh Muslim li An-Nawawi, 1:149) Sementara, sebagian ulama bependapat bahwa dengan semata-mata membenarkan dengan hati, keimanan seseorang antara dirinya dengan Allah sudah cukup dianggap sah. Adapun ikrar syahadat hanyalah syarat untuk mendapatkan status “mukmin” ketika di dunia. Sehingga, dengan melantunkan dua kalimat syahadat ini, seseorang telah diakui sebagai muslim yang memiliki hak dan kewajiban sebagaimana muslim yang lain. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 4:267) Oleh karena itu, ketika seseorang bersyahadat, dia harus membawa saksi dari kalangan kaum muslimin dan pengucapan syahadat tersebut tidak disembunyikan, karena hal ini menyangkut status dirinya di hadapan kaum muslimin yang lain. Sekelumit Kalimat Syahadat “Laa Ilaha Illallah”
Kita memuja dan memuji Allah, Dzat Pemberi berbagai ni’mat terutama ni’mat islam, iman dan sunnah. Tak lupa kita bershalawat dan salam atas kekasih Allah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabat serta orang-orang yang senantiasa setia menempuh jalan petunjuk beliau hingga hari kemudian. Tak asing bagi kita Syahadat laa ilaha illah ini. Karena kita senantiasa membacanya dalam sholat, tepatnya ketika tasyahud. Ia merupakan salah satu dari rangkaian dua kalimat syahadat yaitu syahaadatu an laa ilaha illallah dan syahaadatu anna muhammadar rasulullahyang dengan mengikrarkannya seorang yang kafir menjadi muslim. Syahadat ini disebut Syahadat Tauhid, karena mengandung pentauhidan Allah Jalla wa ‘Ala dalam ibadah. Demikian pentingnya syahadat ini, sehingga ia menjadi bagian terpenting dari rukun islam yang pertama.
Oleh sebab itu, sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk memahami kandungan makna, rukun, syarat dan konsekuensi (tuntutan) syahadat ini. Makna Syahadat Laa ilaha illallah Maknanya adalah meyakini dan mengikrarkan bahwa tiada sesuatupun yang berhak diibadahi kecuali Allah Ta’ala dengan tetap teguh di dalamnya dan melaksanakan tuntutannya. Sedangkan makna Laa ilaha illallah adalah Laa ma’buda bi haqqin illallah yaitu Tiada sesembahan yang haq (berhak disembah) melainkan Allah. Inilah makna Laa ilaha illallah yang benar.

Berikut ini akan disebutkan makna-makna yang keliru ketika menafsirkan Laa ilaha illallah.

1- Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa ma’buda illallah, maknanya Tiada sesembahan selain Allah. Ini makna yang berkonsekuensi batil, karena mengandung makna bahwa setiap sesembahan, baik yang haq maupun yang batil adalah Allah.

2- Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa kholiqo illallah, yang bermakna Tiada pencipta selain Allah. Ini makna yang kurang, karena hanya mengandung sebagian dari kandungan makna Laa ilaha illallah yaitu tauhid rububiyah sementara kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah ini adalah tauhid ibadah yang mencakup tauhid rububiyah.      Andaikan benar makna Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa kholiqo illallah (Tiada pencipta selain Allah), maka tentulah Iblis laknatullah ‘alaihi dan orang-orang kafir di masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam termasuk muslim, karena mereka mengakui bahwa Allah Sang Pencipta, Penguasa, Pemilik dan Pemelihara alam jagad raya. Allah ta’ala mengabadikan perkataan Iblis dalam Al-Quran yang artinya: “(Iblis) berkata,”Aku lebih baik daripada dia(Adam). Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf:12). Dan Allah Ta’ala menyatakan keyakinan orang kafir di masa Nabi kita dengan firman-Nya  yang artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang kafir), milik siapakah bumi dan apa yang ada di dalamnya, jika kamu mengetahui? (84) Mereka akan menjawab:”Milik Allah.” Katakanlah,”Maka apakah kamu tidak ingat?”(85). Katakanlah :”Siapakah Tuhan (Pencipta dan Pemelihara) langit yang tujuh dan Tuhan arasy yang agung?” (86) Pasti mereka menjawab:”Allah”. Katakanlah (kepada mereka): mengapa kamu tidak bertaqwa?” (QS.Al-Mu’minun:84-87). Demikian pula, andaikata tafsir tersebut benar, tentulah orang-orang kafir Quraisy dan yang semisal mereka akan menerima dakwah Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam . Namun nyatanya tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam menyeru mereka “Ucapkanlah Laa ilaha illallah, niscaya kalian akan beruntung (di dunia dan akhirat)”(HR.Ahmad dan lainnya), mereka pun lantas membantah dengan ucapan mereka yang diabadikan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:“Apakah dia menjadikan sesembahan-sesembahan itu hanya satu sesembahan (Allah) saja?! Sungguh ini sesuatu yang aneh.” (QS. Shad:5).

3- Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan Laa hakima illallah yaitu Tiada hakim (Pembuat hukum) kecuali Allah. Makna ini pun kurang tepat dan tidak sempurna, karena masih saja mengandung sebagian dari kandungan makna Laa ilaha illallah yaitu tauhid rububiyah. Jelasnya, jika seseorang mentauhidkan Allah dalam hukum, namun bersamaan dengan itu dia beribadah kepada selain Allah, maka tetap saja dia belum merealisasikan tuntutan kalimat tauhid ini. Makna yang benar dari tafsir Laa ilaha illallah adalah Laa ma’buda bi haqqin illallah yaitu Tiada sesembahan yang haq (berhak disembah) melainkan Allah. Hal ini berdasarkan Al-Quran surah Shad ayat 5 dan hadits riwayat Ahmad di atas, di mana orang-orang kafir di masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam mengingkari dakwah beliau untuk mentauhidkan Allah (menjadikan Allah satu-satunya Dzat yang disembah) dengan ucapan mereka; “Apakah dia menjadikan sesembahan-sesembahan itu hanya satu sesembahan (Allah) saja?! Sungguh ini sesuatu yang aneh.” Rukun Syahadat Laa ilaha illallah
Laa ilaha illallah memiliki 2 rukun yaitu An-Nafyu (penafian/peniadaan) dan Al-Itsbat(penetapan). Kedua rukun ini diambil dari 2 penggalan kalimat tauhid Laa ilaha dan illallah. Rinciannya  sebagai berikut:-Laa ilaha = An-Nafyu,  yaitu meniadakan dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan serta mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah Ta’ala.
-illallah = Al-Itsbat, yaitu menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah dan diibadahi melainkan Allah serta beramal dengan landasan ini.

Banyak ayat-ayat Al-Quran yang mencerminkan 2 rukun ini. Diantaranya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka barangsiapa yang mengingkari Thoghut (sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat (kalimat Laa ilaha illallah).” (QS.Al-Baqarah:256). “Mengingkari Thoghut (sesembahan selain Allah”) adalah cerminan dari rukun An-Nafyu (Laa ilaha), sementara “Beriman kepada Allah” adalah cerminan dari rukun Al-Itsbat (illallah). Syarat Syahadat Laa ilaha illallah
Syarat-syarat ini harus dipenuhi oleh orang yang melafalkan kalimat tauhid ini agar berfaedah baginya, yaitu sebagai berikut:

1- Berilmu dan memahami kandungan makna dan rukun syahadat ini sehingga hilang kebodohan terhadap kandungan makna dan rukun kalimat ini. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda yang artinya:“Barangsiapa yang mati dalam keadaan ia mengetahui (kandungan makna) ‘laa ilaha illallah’ (bahwa tiada yang berhak disembah kecuali Allah), pasti masuk surga (HR. Muslim).

2- Meyakini segala yang ditunjukkan oleh kalimat ini tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Sesungguhnya orang mukmin itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu”. (QS. Al-Hujurat:15).

3- Menerima konsekuensi (tuntutan) kalimat ini berupa beribadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan beribadah kepada selain-Nya tanpa adanya penolakan yang didasari keengganan, pembangkangan,dan kesombongan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) apabila diucapkan kepada mereka “laa ilaha illallah (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah) maka merekapun menyombongkan diri(35). Dan mereka berkata,“Apakah kita akan meninggalkan sesembahan-sesembahan kita karena penyair yang gila”.(QS. Ash-Shaffat:35-36).

4- Tunduk dan berserah diri terhadap segala tuntutan kalimat ini tanpa mengabaikannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah dalam keadaan berbuat kebajikan, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat (kalimat Laa ilaha illallah).” (QS.Luqman:22)

5- Jujur dalam mengucapkan kalimat ini dengan disertai hati yang membenarkannya. Jika seseorang mengucapkan kalimat ini namun hatinya mengingkari dan mendustai nya, maka dia orang munafik tulen. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Dan diantara manusia ada yang mengucapkan,”Kami beriman kepada Allah dan hari akhir”, padahal mereka tidak beriman(8). Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beiman. Tidaklah mereka menipu kecuali diri mereka sendiri sementara mereka tidak meyadari (9). Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah penyakit mereka. Dan mereka mendapat azab yang pedih karena kedustaan yang mereka lakukan. (QS. Al-Baqarah:8-10).

6- Ikhlas dalam mengucapkannya dan memurnikan amal dari segala kotoran syirik, bukan karena riya, atau untuk ketenaran, maupun tujuan-tujuan duniawi. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda yang artinya:“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan”laa ilaha illallah” dengan tujuan mengharap wajah Allah.”(HR. Bukhari dan Muslim)

7- Mencintai kalimat ini dan segala tuntutannya serta mencintai orang yang melaksanakan tuntutannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:”Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan yang mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.”(QS. Al-Baqarah:165). Orang –orang yang benar dalam imannya mencintai Allah dengan cinta yang tulus dan murni. Adapun para pelaku kesyirikan memiliki cinta ganda. Mereka mencintai Allah sekaligus mencintai tandingan-Nya. Konsekuensi  Syahadat Laa ilaha illallah
Konsekuensi (tuntutan) syahadat ini adalah meninggalkan peribadatan dan penyembahan kepada selain Allah Ta’ala.Dewasa ini,banyak orang yang megucapkan kalimat ini namun menyalahi tuntutannya. Mereka menujukan ibadah (beribadah) atau memberikan persembahan kepada makhluk, seperti menyembelih dan bernadzar untuk kuburan dan penghuninya, meletakkan sesajian sebagai tumbal di tempat-tempat keramat dan angker, di sekitar pepohonan, dan bebatuan, serta bentuk-bentuk persembahan lainnya. Mereka menyakini tauhid sebagai hal yang baru dan mereka juga mencela orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata. Mereka juga mengingkari serta memusuhi orang-orang yang mendakwahi mereka, padahal ajakan dan dakwah yang dilakukan orang-orang tersebut adalah sebagai wujud kecintaan, perhatian dan kepedulian serta keprihatinan mereka terhadap saudara seagama mereka. Mereka tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa saudaranya disebabkan ketidaktahuan saudaranya tersebut terhadap sesuatu yang berbahaya bagi mereka. Untuk itu,-dengan didasari kecintaan- mereka bangkit mengingatkan saudara-saudara seagama mereka dari bahaya-bahaya yang bisa menimpa. Sikap mereka ini merupakan bentuk implementasi dari sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa sallam yang maknanya: “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan akhirnya, semoga Allah ta’ala menjadikan kita umat yang bersatu dan bersaudara di atas agama tauhid ini.
Wa shollallohu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi ajma’iin.

Pertanyaan:
Benarkah apabila keluarga seseorang beriman bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya, cukup memasukkan seseorang ke surga?

Jawaban:
Islam tidak hanya mengucapkan dua kalimat syahadat saja, akan tetapi wajib mengimplementasikan syarat-sayarat yang tercakup dalam dua kalimat syahadat tersebut sehingga seseorang yang mengucapkan dua kalimat tersebut menjadi muslim yang sejati. Rukun Islam itu meliputi keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya, juga bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya, dan bahwasanya Isa adalah hamba Allah dan anak dari budak wanita-Nya serta kalimat-Nya yang ia sampaikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya. Bersaksi bahwa surga dan neraka benar adanya. Allah akan masukkan ke dalam surga lewat pintu surga yang delapan sekehendaknya.” (HR. Bukhari, no. 3252 dan Muslim, no. 28) Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah mengatakan, “Sabdanya ‘Barangsiapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah’ maksudnya barangsiapa yang mengucapkan kaliamat tersebut dengan mengetahui maknanya, mengamalkan konsekuensinya, baik secara zahir maupun batin. Oleh karena itu, sebuah keharusan dalam ucapan dua kalimat syahadat tersebut adanya pengetahuan tentang kalimat tersebut, yakin, dan mengamalkan konsekuensinya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Maka ketahuilah! Bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah.” (QS. Muhammad: 19) dan firman-Nya, “Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengilmuinya.” (QS. Az-Zukhruf: 86). Adapun mengucapkan kaliamat tersebut tanpa mengetahui maknanya, tidak juga dengan rasa keyakinan, dan beramal dengan konsekuensinya berupa berlepas diri dari kesyirikan dan ikhlas dalam berucap dan beramal, ucapan di sini meliputi ucapan hati dan lisan dan amalan mencakup amalan hati dan anggota badan, maka yang demikian tidak bermanfaat menurut kesepakatan ulama. Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam Al-Mafham ‘ala Shahih Muslim pada Bab Tidak Cukup Hanya Menlafdzkan Dua Kaliamat Syahadat, harus dengan keyakinan hati. Dengan demikian terbantahlah penyimpangan orang-orang Murji’ah, mereka mengatakan, mengucapkan dua kalimat syahadat saja cukup menjadi syarat keimanan. Pembicaraan dalam bab ini menunjukkan kesalahan pendapat Murji’ah tersebut. Karena pendapat tersebut berkonsekuensi membenarkan kemunafikan, orang munafik mengucapkan syahadat tetapi hati mereka tidak membenarkan dan meyakininya…”Dalam hadis ini juga dikatakan “Barangsiapa bersaksi”, persaksian tidak dianggap sah kecuali dengan ilmu, yakin, ikhlas, dan jujur. (Fathu Al-Majid, Hal.36) Syarat “syahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah” ada tujuh. Tidak akan bermanfaat syahadat seseorang kecuali dengan hadirnya tujuh

syarat tersebut. Yaitu:
1. Ilmu yang menepis ketidaktahuan.
2. Yakin yang menghilangkan keraguan.
3. Menerima sebagai lawan dari menolak.
4. Patuh yang menafikan pembangkangan.
5. Ikhlas tidak ada unsur kesyirikan.
6. Jujur bukan ucapan yang mengandung dusta.
7. Cinta menafikan rasa kebencian.

Sedangkan syarat “syahadat Muhammad adalah utusan Allah” hakikatnya sama dengan syarat syahadat yang pertama.
 

Wallahu’alam bisshawab
"Dan Allah lebih Mengetahui yang sebenar-benarnya"
Mudah-mudahan Bermanfaat
Mohon Maaf atas segala Kekurangan
Wassalaamu'alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh

 (edisalam)

Disadur dari: islamqa.com
Referensi :
https://yufidia.com/2226-syahadat.html
https://muslim.or.id/2464-sekelumit-kalimat-syahadat-laa-ilaha-illallah.html
https://konsultasisyariah.com/9962-mengucapkan-syahadat.html

sumber :
https://abuabdurrohmanmanado.org/2016/02/19/kalimat-syahadat-pengertian-definisi-arti-kalimat-syahadat-makna-syahadatain-bacaan-syahadat-kalimat-syahadat-rukun-syahadat-syarat-syahadat-konsekuensi-syahadat-mengucap-syahadat-pa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar